Powered By Blogger

Minggu, 09 Januari 2011

Tips Membuat Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Pasal-pasal mengenai Perbuatan melawan hukum (PMH) memang tidak banyak, akan tetapi justru dalam praktek pasal ini banyak digunakan. Memang tidak ada data yang dapat disajikan akan tetapi sebagaian besar dasar hukum dalam gugatan perdata adalah PMH. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam hal gugatan perdata hanya memiliki 2 dasar hukum yaitu atas dasar wanprestasi dan PMH.

Pasal 1365 KUPerdata adalah pasal sentral dalam PMH. Pasal ini intinya adalah siapa saja yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dikarenakan kesalahannya maka timbulah kewajiban hukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan tersebut. Apabila kita lihat maka dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini terkandung beberapa unsur PMH. Apabila dilihat dari ranah akademisi maka unsure-unsur PMH yang terkandung dalam pasal tersebut ada lima, yaitu: (1) adanya perbuatan, (2) kesalahan, (3) melawan hukum, (4) adanya kerugian, dan (5) adanya hubungan kasual antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. Namun apabila kita lihat dalam praktek, apabila seseorang menggugat secara perdata dengan dasar PMH, maka ia haruslah membuatnya dalam bentuk surat gugatan. Bagaimana menggambungkan pengetahuan teori yang kita miliki dengan praktek.

Bentuk surat gugatan baik itu dengan dasar PMH atau wanprestasi pasti tidak jauh berbeda, dimana secara anatomi memiliki 2 kerangka besar. Kerangka besar tersebut adalah : pertama adanya posita dan kedua adanya petitum.

Posita dalam sebuah surat gugatan PMH umumnya terdiri dari (1) subyek hukum baik penggugat dan tergugat, (2) kronologis kejadian dimana di dalamnya harus dibuktikan telah terjadi hubungan hukum, dimana hubungan hukum itu tidak sesuai dengan yang diharapkan dan menimbulkan kerugian (3) Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh tergugat, dalam hal ini perbuatan melawan hukumnya dapat dikatagorikan menjadi 4, yaitu melanggar kewajiban hukum pelaku, melanggar hak subyektif orang lain, melangga kesusilaan dan melanggar kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian (PATIHA). Khusus mengenai point ke 4 dalam praktek umumnya dapat dikatakan apakah perbuatan melawan hukumnya adalah aktif atau pasif. Seorang tergugat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum yang aktif apabil ia melanggar hak subyektif orang lain, melanggar kesusilaan dan PATIHA, namun jika yang dilanggar hanya melanggar kewajiban hukum si pelaku maka tergugat tersebut dikatakan melakukan PMH yang pasif. Point (5) adalah harus dimintakan ganti rugi. Dalam bagian ini harus dinyatakan secara bahwa ada kerugian dan diminatakan ganti kerugian.

Apabila telah diurakan point-point dalam posita tersebut maka bagian terakhir adalah bagian petitum. Hal yang umum untuk dimintakan adalah (1) mengatakan tergugat melawan hukum dan (2) menyatakan tergugat untuk membayar ganti rugi.

Dalam praktek, hal yang perlu mendapat perhatian agar gugatan dapat dikabulkan oleh hakim adalah memformulasikan bentuk ganti rugi yang dimintakan. Prinsipnya adalah ganti rugi yang mintakan harus se-rasional mungkin. Dengan lain perkataan bahwa ganti rugi itu tidak dibuat yang mengada-ada tanpa memiliki dasar perhitungan yang tepat. Misalkan mengenai ganti rugi immateril.

Ganti rugi immaterial memang diperbolehkan namun harus dengan hati-hati dimintakan. Jumlah ganti rugi immaterial dapat menjadi batu sandungan bagi penggugat apabila tidak dipormulasikan dengan baik.

Mengenai besaran ganti rugi yang dapat dituntut memang tidak diatur dalam undang-undang, hanya saja dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dikatakan bahwa ganti rugi yang dapat dikabulkan adalah ganti rugi yang dibuat dalam bentuk tabel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar